Oktober 5th, 2021
Saat dunia sedang meningkatkan basis instalasi pembangkit listrik tenaga suryanya, polusi udara sering diabaikan selama fase desain. Noor menulis tentang bagaimana polusi udara mempengaruhi efisiensi pembangkit listrik tenaga surya dan cara untuk mengatasi masalah ini.
By
Associate postdoctoral di MIT, Massachusetts Institute of Technology (MIT)
Saat ini Indonesia sedang gencar merencanakan pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) di berbagai wilayah di Indonesia.
Berawal dari mega proyek PLTS terapung Cirata di Jawa Barat yang menjadi pembangkit listrik tenaga surya terbesar di Asia Tenggara, pembangkit listrik tenaga surya Musi Green Hybrid, hasil kerjasama pihak swasta di Sumatera Selatan, untuk pembangkit listrik tenaga surya atap skala kecil tersebar di kota-kota besar, seperti DKI Jakarta dan Jawa Barat. Proyek-proyek ini menunjukkan bahwa pemerintah dan pihak swasta mulai aktif melakukan mitigasi perubahan iklim.
Namun, pembicaraan tentang rencana pembangunan pembangkit listrik tenaga surya di depan umum sangat jarang menyentuh aspek polusi udara. Faktanya, aspek itu cukup untuk mempengaruhi level dari insolasi atau paparan sinar matahari yang berisiko mengurangi efektivitas produksi pembangkit listrik tenaga surya.
Bagaimana polusi udara mempengaruhi produktivitas pembangkit listrik tenaga surya?
Materi partikulat (PM) 2.5 merupakan salah satu indikator pencemaran udara yang berbahaya bagi manusia dan lingkungan. PM 2.5 adalah 2.5 mikron –6.8 kali lebih kecil daripada sehelai rambut manusia.
Pada aspek produksi listrik PLTS, jika kadar PM 2.5 di udara lebih tinggi, maka paparan sinar matahari yang diperoleh solar panel semakin berkurang.
Sedangkan jika sinar matahari yang diperoleh panel surya semakin sedikit, maka produksi listrik akan rendah. Akhirnya, manfaat penggunaan teknologi ini bisa berkurang drastis.
Misalnya [tahun 2019, Jakarta mengalami sekitar 250 hari dengan level PM 2.5 yang cukup tinggi, atau melebihi 55.4 mikrogram per meter kubik (μg/m³).
Akibatnya, berdasarkan sebuah studi diterbitkan dalam jurnal Energy and Environmental Science, Royal Society of Chemistry pada tahun 2018, Daerah Ibu Kota kehilangan sekitar 4.3% dari paparan radiasi matahari atau sekitar 1,721 kilowatt per meter kubik (KW/m²) per tahun.
Sebagai perbandingan, kehilangan paparan radiasi di Singapura adalah 2.0%, Beijing sebesar 9.1%, dan Delhi sebesar 12.2% per tahun.
Berkurangnya paparan sinar matahari pada akhirnya mengurangi potensi kapasitas panel surya yang sudah terpasang. Penurunan kapasitas pembangkit listrik tenaga surya per 1 kilowatt peak (KWp) akan menurunkan potensi produksi setrum sebesar sekitar 57 kilowatt per jam per tahun.
Hal ini tentu merugikan pelanggan PLTS Atap di Jakarta karena produksi listrik dari PLTS mereka menjadi tidak maksimal.
Besarnya kerugian finansial dari insolasi pengurangan akibat PM 2.5 di Jakarta belum diketahui. Namun, di New Delhi, India, potensi kerugiannya mencapai US$ 20 juta atau setara Rp 285 miliar per tahun. Sedangkan di Beijing, China diprediksi merugi US$ 10 juta atau sekitar Rp 142 miliar untuk pembangkit listrik tenaga surya atap dengan berkapasitas 1000 megawatt (MW).

Asap kendaraan dan kebakaran hutan
Di kota-kota besar seperti Jakarta, penggunaan efektif pembangkit listrik tenaga surya atap sangat bergantung pada pengurangan kendaraan bermotor. Karena tentang 13-40% partikulat di udara Jakarta berasal dari emisi kendaraan bermotor.
Sementara itu, pertumbuhan jumlah kendaraan bermotor adalah sekitar 15% per tahun. Tren ini berisiko semakin mengurangi produksi listrik dari pembangkit listrik tenaga surya atap di masa depan.
Selain kendaraan bermotor di kota-kota besar, ancaman produksi pembangkit listrik tenaga surya atap juga berasal dari asap kebakaran hutan dan lahan.
Dibandingkan dengan DKI Jakarta, risiko ini sangat tinggi – terutama pada pembangkit listrik tenaga surya skala besar yang terletak di daerah rawan kebakaran hutan dan lahan. Misalnya di musi, sumatera selatan, serta Kabupaten Bengkalis di Riau.
Nah, di lahan gambut, kebakaran akan menghasilkan emisi pm 2.5 lebih banyak daripada di wilayah lain.
Membangun pembangkit listrik tenaga surya harus disertai dengan pengurangan polusi
Harga pemasangan PLTS atap di Indonesia masih cukup tinggi jika dibandingkan dengan harga pemasangan PLTS global. Berdasarkan laporan dari Laboratorium Energi Terbarukan Nasional AS (NREL)Lembaga riset pada 2019, rata-rata biaya listrik panel surya di Indonesia tertinggi di Asia Tenggara, yakni sekitar US$ 165 per MWh (megawatt hour). Posisi LCOE tertinggi kedua ditempati oleh Singapura yang mencapai US$ 122/Mwh (sekitar Rp 1.73 juta per MWh).
Oleh karena itu, diperlukan penggunaan yang efektif dan hasil daya listrik yang maksimal agar konsumen menuai keuntungan investasi yang sepadan.
Meski pembangunan PLTS rooftop merupakan keputusan pelanggan, namun pemerintah tetap berperan penting untuk menerapkan kebijakan terkait pengurangan tingkat polusi udara. Harapannya, paparan radiasi matahari bisa meningkat dan PLTS atap lebih produktif.
Saat ini, pemerintah berencana untuk memberikan insentif kepada masyarakat untuk menggunakan pembangkit listrik tenaga surya atap dengan kebijakan insentif harga listrik kepada produsen(tarif masuk) sehingga penggunaan energi bersih dapat menggeliat. Tapi itu tidak cukup. Pemerintah diharapkan juga memperketat emisi dari sektor transportasi sehingga tingkat polusi udara menurun.
Pemerintah baru akan menerapkan Standar Euro 4 untuk membatasi emisi partikulat dari mobil diesel. Standar ini memperketat kandungan bahan seperti karbon dioksida, nitrogen oksida, karbon monoksida, yang lebih ketat dalam bahan bakar minyak. Namun, implementasi kebijakan tersebut juga berpotensi ditunda hingga 2022.
Cara lain untuk mencegah kenaikan emisi adalah beralih ke penggunaan kendaraan listrik. Langkah meningkatkan jumlah pengguna angkutan umum juga bisa menjadi solusi.
Selain emisi dari sektor transportasi, pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) di sekitar Jakarta juga menyumbang sekitar 20-30% emisi di ibu kota. Oleh karena itu, upaya untuk mengurangi timbulnya setrum dari pembangkit batubara menjadi penting.
Sementara itu, untuk pembangkit listrik tenaga surya skala menengah dan besar yang sedang dikembangkan di daerah rawan kebakaran hutan dan lahan, pemerintah dan swasta harus melakukan analisis tingkat keterpaparan sinar matahari secara menyeluruh di daerah tersebut. Ini harus dilakukan ketika proyek dalam tahap perencanaan lokasi.
Analisis tersebut diperlukan karena target pembangunan PLTS yang cukup besar: sekitar 328.8 MW.
Pengurangan emisi dan analisis paparan radiasi matahari adalah hal-hal yang dapat dilakukan untuk membantu pelanggan dan investor mendapatkan keuntungan yang maksimal. Akibatnya, emisi dapat dikurangi, dan produktivitas pembangkit listrik tenaga surya meningkat. Pada akhirnya, kedua upaya tersebut membantu Indonesia dalam memitigasi dampak krisis iklim.
Artikel ini awalnya diterbitkan oleh Percakapan, pada tanggal 08 September 2021, dalam Bahasa Indonesia dan telah diterbitkan ulang sesuai dengan Lisensi Publik Internasional Creative Commons Attribution-NonCommercial-NoDerivatives 4.0. Anda bisa membaca artikel aslinya disini. Pandangan yang diungkapkan dalam artikel ini adalah dari penulis sendiri dan bukan dari WorldRef.
Jelajahi layanan WorldRef untuk mempelajari bagaimana kami membuat ekspansi global Anda lebih mudah dan ekonomis!
Tenaga Panas dan Kogenerasi | Pertambangan dan Mineral | Pengendalian Polusi Udara | Sistem Penanganan Material | Pengolahan Air dan Air Limbah |
Peralatan Industri Bekas | Suku Cadang, Alat dan Barang Habis Pakai | Pengadaan Industri